Setelah melakukan determinasi mengenai
konflik maka kita perlu mempertajam diskursus pada terma konflik sosial.
Kementrian Sosial RI (2013) mendeskripisikan bahwa konflik sosial telah
ditegaskan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 yang mencantumkan bahwa konflik
sosial adalah perseteruan dan atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua
kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan
berdampak luas yang mengakibatkan terjadinya ketidakamanan dan disintegrasi
sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan
nasiona. Dalam kaitan ini, ada beberapa kategori seperti; konflik keagamaan,
konflik politik, konflik sumber daya alam, konflik sumber daya ekonomi, konflik
komunal, konflik teritorial, konflik kelas, konflik horizontal, konflik
vertikal, dan konflik antar aparat.
Konflik keagamaan adalah konflik
sosial yang terkait dengan isu-isu dan fenomena keagamaan. Fauzi dkk. (2009)
mengemukakan bahwa Konflik keagamaan
itu dapat mewujud dalam dua jenis aksi, yaitu (1) aksi damai dan (2) aksi kekerasan. Dalam
studi yang dilakukan Fauzi dkk, aksi damai dipahami
sebagai “setiap tindakan
yang dilakukan tanpa kekerasan
dalam rangka menanggapi isu-isu
keagamaan yang menjadi
sumber pertikaian di masyarakat”. Termasuk di dalam aksi
damai adalah aksi protes (aksi menolak suatu pandangan atau kebijakan menyangkut isu yang diperselisihkan), aksi dukungan (aksi
mendukung suatu
pandangan atau kebijakan
menyangkut isu yang diperselisihkan), maupun aksi mediasi
(tindakan yang dilakukan dalam rangka mendukung
upaya penyelesaian konflik yang tengah terjadi).
Selain itu, Fauzi dkk., juga membagi isu-isu keagamaan yang menyebabkan konflik keagamaan
ke dalam 6 kategori, yaitu; Pertama, isu moral, yang mencakup
antara lain isu-isu
di seputar perjudian, minuman keras (miras),
narkoba, perbuatan asusila,
prostitusi, pornografi/pornoaksi. Isu-isu
moral lainnya seperti
antikorupsi juga dimasukkan ke dalam isu keagamaan
selama isu tersebut melibatkan kelompok keagamaan dan/atau
dibingkai oleh para aktor yang terlibat dalam slogan atau ekspresi keagamaan.
Kedua, isu
sektarian, yaitu
isu-isu yang melibatkan perseteruan terkait interpretasi atau pemahaman
ajaran dalam suatu
komunitas agama maupun
status kepemimpinan dalam suatu kelompok
keagamaan. Dalam Islam, kelompok Ahmadiyah, Lia-Eden dan Al Qiyadah
Al Islamiyah adalah di antara kelompok-kelompok keagamaan yang kerap memicu berbagai
insiden protes maupun kekerasan, baik yang dilakukan
oleh kelompok keagamaan maupun warga masyarakat secara umum. Sedangkan dalam komunitas
Kristen, konflik kepemimpinan gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) menjadi contoh yang mewakili isu sektarian
ini.
Ketiga, isu komunal, yaitu isu-isu
yang melibatkan perseteruan antar komunitas agama, seperti
konflik Muslim-Kristen, maupun perseteruan antara kelompok
agama dengan kelompok
masyarakat lainnya yang tidak selalu bisa diidentifikasi berasal dari kelompok agama tertentu.
Isu seperti penodaan
agama, seperti dalam kasus karikatur tentang
Nabi Muhammad, dimasukkan dalam kategori isu komunal ini. Perlu ditegaskan
bahwa Perseteruan atau bentrok menyangkut suatu
isu keagamaan – sepanjang kedua belah pihak yang terlibat
tidak dapat diidentifikasi berasal atau mewakili
komunitas keagamaan yang sama
– juga dimasukkan dalam isu ini. Jika kedua belah pihak pelaku dapat diidentifikasi berasal dari komunitas
agama yang sama, maka konflik semacam itu akan dimasukkan dalam
kategori isu sektarian.
Keempat, isu terorisme, yaitu
isu yang terkait
dengan aksi-aksi serangan
teror dengan sasaran
kelompok keagamaan atau hak milik kelompok keagamaan tertentu,
maupun serangan teror yang ditujukan
terhadap warga asing maupun hak milik pemerintah asing. Tindakan kekerasan
ini kerap disebut juga sebagai tindak terorisme keagamaan (religious terrorism), yang
oleh
Juergensmeyer dipandang sebagai “tindakan simbolik” atau performance violence, ketimbang suatu tindakan taktis atau strategis. Untuk kasus Indonesia, contohnya
adalah pengeboman di Bali yang dilakukan
oleh kelompok Imam Samudra, dan berbagai serangan
bom di Jakarta. Adapun kekerasan
berupa serangan teror di wilayah konflik komunal,
maupun insiden yang terkait dengan upaya penyelesaian konflik
di wilayah komunal
tertentu seperti
Poso, Sulawesi Tengah,
dan Ambon, Maluku, dimasukkan
dalam kategori ketiga di atas,
yaitu isu komunal.
Kelima, isu politik-keagamaan, yaitu
isu-isu yang melibatkan sikap anti terhadap
kebijakan pemerintah Barat atau pemerintah asing
lainnya dan sikap
kontra ideologi/kebudayaan Barat atau asing lainnya. Termasuk ke dalam isu politik-keagamaan di sini adalah isu penerapan
Syariah Islam atau Islamisme, serta pro-kontra menyangkut kebijakan pemerintah Indonesia yang berdampak
pada komunitas keagamaan tertentu.
Terakhir, keenam, isu lainnya, meliputi
isu subkultur keagamaan mistis seperti santet, tenung dan sebagainya, maupun isu-isu lainnya yang tidak termasuk dalam 5 (lima) kategori sebelumnya.
Dalam studinya,
Fauzi dkk., membagi jenis dan bentuk insiden kekerasan keagamaan degan berbagai
kategori, yaitu; dari segi jenisnya, insiden
kekerasan terkait konflik
keagamaan dibagi menjadi:
a.
Penyerangan
terhadap orang/kelompok orang
b.
Penyerangan
terhadap properti milik orang/kelompok
orang
c.
Penyerangan
terhadap aparat pemerintah/properti
milik pemerintah
d.
Penyerangan terhadap warga asing/properti milik
pemerintah asing
e.
Bentrok
antara warga/kelompok keagamaan vs aparat keamanan
f.
Bentrok
antarakelompok warga, dan
g.
Kerusuhan/amuk
massa berdampak
pada
korban
jiwa/kerusakan properti milik kelompok
keagamaan.
Adapun dari segi
bentuknya, kekerasan/penyerangan
dikelompokkan menjadi:
a.
Penyisiran/pengusiran
b.
Penyanderaan/penculikan/penahanan
c.
Penganiyaan
d.
Penganiyaan
hingga tewas
e.
Penembakan/pembunuhan
f.
Penyitaan/penyegelan
g.
Perusakan
h.
Perusakan
disertai penjarahan/pembakaran
i.
Pengeboman
j.
Penganiayaan/pembunuhan disertai
perusakan/pembakaran
Bentuk-bentuk kekerasan yang jelas
menimbulkan ketegangan sosial di atas masih terus terjadi di Indonesia.
Ketegangan sosial tersebut mempengaruhi sistem dan struktur sosial pada wilayah
tertentu karena terjadina perubahan sosial. Jika agama tidak dapat mencari
solusi atas berbagai potensi ketegangan sosial maka ketegangan sosial tersebut
akan terus terjadi dan berpotensi menimbulkan konflik terbuka apalagi jika
sudah ada pihak-pihak tertentu yang melakukan politisasi isu-isu agama dengan
mengaitkannya dengan isu kesenjangan dan ketidakadilan terhadap kelompok
tertentu.
Konflik politik, jenis konflik ini
terjadi karena adanya gesekan dan ketidak sepkatan terkait dengan isu politik
sehingga dua pihak atau lebih terlibat konflik, baik yang bersifat laten maupun
yang tampak, termasuk di dalam aksi damai dalam bentuk aksi protes (aksi menolak suatu pandangan atau kebijakan menyangkut isu yang diperselisihkan), aksi mendukung
suatu pandangan atau kebijakan menyangkut isu yang diperselisihkan, maupun aksi mediasi.
Biasanya, jenis konflik ini ditandai dengan adanya proses politik
seperti Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) langsung, Pemilu legislatif,
dan Pemilu Presiden dan wakil presiden. Selain itu, konflik ini juga kadang
timbul karena adanya kebijakan politik yang dianggap tidak sesuai dengan
kepentingan politik tertentu.
Konflik sumber daya alam, dalam
penelitian ini, terkait dengan perebutan akses dan penguasaan oleh pihak
tertentu sementara pihak lainnya merasa dirugikan atau diperlakukan tidak adil
terhadap sumber daya alam teresbut, seperti terjadinya konflik akibat adanya
ketimpangan pengelolaan sumber daya air, sumber daya kehutanana, dan sumber
daya agrarian.
Konflik lainnya adalah konflik sumber
daya ekonomi. Konflik ini ditandai oleh terjadinya perselisihan atau
ketidaksepahaman antar pihak berkonflik yang merasa mendapat perlakuan tidak
adil, diskriminatif, bahkan cenderung dibatasi oleh salah satu pihak dalam hak
akses dan kepemilikan sumber daya ekonomi, seperti kepemilikan kios di pasar,
termat berjualan, konflik yang terjadi akibat transaksi ekonomi yang menyimpang
secara hukum sehingga berdampak pada terjadinya distabilitas sosial.
Sementara itu, konflik komunal adalah
konflik yang melibatkan komunitas dalam skala yang lebih luas. Konflik ini bisa
berbentuk konflik laten karena adanya sumber konflik yang telah tersimpan lama
dan tidak pernah terselesaikan sehingga ketika ada pemicu konflik, seperti
kesalahfahaman salah seorang pemuda dengan pemuda lainnya dari komunitas
lainnya, dapat menimbulka konflik komunal, seperti pertikaian antara kampung,
antar desa, dan lainnya. Contohnya juga bisa dilihat pada penghakiman massa,
pengeroyokan yang berujung pada konflik antar massa yang berkonflik. Konflik
komunal ini identik dengan konflik horizontal.
Ada pula jenis konlik sosial yang
disebut konflik vertikal. Jenis konflik ini ditandai oleh terjadinya konflik
antara kelompok masyarakat dengan aparat, atau aparat dengan aparat yang berada
pada level di atasnya. Sebagai contoh, konflik separatis yang ingin memisahkan
diri dari negara. Bahkan, tekanan yang dilakukan oleh negara terhadap komunitas
tertentu juga dikategorikan konflik vertikal. Contoh lainnya, adalah demontrasi
mahasiswa yang menuntuk perbaikan sistem pemerintahan dan kebijakan juga dapat
dikategorikan sebagai konflik vertikal.
Di Indonesia, ada pula konflik yang
dikenal dengan nama konflik teritorial. Konflik ini yerjadi karena adanya
ketidaksepahaman antara tapal batas wilayah pemerintahan sehingga masyarakt
juga terlibat di dalam konflik karena masyarakat berada pada wilayah tapal
batas tersebut. Persoalan tapal batas ini masih banyak ditemukan di Indonesia,
bukan hanya tapal batas dengan negara lain, tapi juga tapal batas antara desa
dengan desa, kabupaten dengan kabupaten, bahkan provinsi dengan provinsi. Konflik
ini juga biasa disebut konflik antar pemerintahan. Meskipun, secera esensial
yang berkonflik adalah pemerintah dengan pemerintah namun masyarakat pada dua
daerah pemerintahan biasanya juga terlibat konflik karena adanya klaim atas
wilayah tertentu.
Ada pula konflik yang terjadi karena adanya kesenjangan kelas masyarakat. Konflik ini disebut konflik kelas. Biasanya, konflik ini terjadi antara masyarakat yang kelas ekonominya lebih rendah dengan ekonomi yang lebih tinggi, kelas yang status sosialnya lebih rendah dengan yang lebih tinggi, bahkan kadang pula terjadi konflik antara kelas pekerja dengan kelas manager atau kelas pekerja dengan majikan. Konflik ini ini biasanya dilakuka dengan aksi unjuk rasa, seperti aksi untuk rasa pekerja dengan pengusaha dalam menuntuk kenaikan gaji atau terkait dengan kebijakan pengupahan.
Sementara
itu, konflik antar aparat dengan aparat, baik pada aparat pemerintahan sipil
maupun kepolisian dan militer (TNI) disebut konflik antar aparat. Konflik ini
biasanya terjadi akibat adanya petikaian antara satu kelompok aparat dengan
aparat lainnya dari kesatuan atau unit kerja berbeda. Biasanya, konflik ini
bermula dari pertikaian individual salah seorang aparat dengan aparat lainnya
dari kesatuan atau unit kerja aparat yang berbeda tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar