Sabtu, 09 Mei 2015

KONFLIK SOSIAL

Setelah melakukan determinasi mengenai konflik maka kita perlu mempertajam diskursus pada terma konflik sosial. Kementrian Sosial RI (2013) mendeskripisikan bahwa konflik sosial telah ditegaskan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 yang mencantumkan bahwa konflik sosial adalah perseteruan dan atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan terjadinya ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasiona. Dalam kaitan ini, ada beberapa kategori seperti; konflik keagamaan, konflik politik, konflik sumber daya alam, konflik sumber daya ekonomi, konflik komunal, konflik teritorial, konflik kelas, konflik horizontal, konflik vertikal, dan konflik antar aparat.
Konflik keagamaan adalah konflik sosial yang terkait dengan isu-isu dan fenomena keagamaan. Fauzi dkk. (2009) mengemukakan bahwa Konflik keagamaan itu dapat mewujud dalam dua jenis aksi, yaitu (1) aksi damai dan (2) aksi kekerasan. Dalam studi yang dilakukan Fauzi dkk, aksi damai dipahami sebagai “setiap tindakan yang dilakukan tanpa kekerasan dalam rangka menanggapi isu-isu keagamaan yang menjadi sumber pertikaian di masyarakat”. Termasuk di dalam aksi damai adalah aksi protes (aksi menolak suatu pandangan atau kebijakan menyangkut isu yang diperselisihkan), aksi dukungan (aksi mendukung suatu pandangan atau kebijakan menyangkut isu yang diperselisihkan), maupun aksi mediasi (tindakan yang dilakukan dalam rangka mendukung upaya penyelesaian konflik yang tengah terjadi).
Selain itu, Fauzi dkk., juga membagi isu-isu keagamaan yang menyebabkan konflik keagamaan ke dalam 6 kategori, yaitu; Pertama, isu moral, yang mencakup antara lain isu-isu di seputar perjudian, minuman keras (miras), narkoba, perbuatan asusila, prostitusi, pornografi/pornoaksi. Isu-isu moral lainnya seperti antikorupsi juga dimasukkan ke dalam isu keagamaan selama isu tersebut melibatkan kelompok keagamaan dan/atau dibingkai oleh para aktor yang terlibat dalam slogan atau ekspresi keagamaan.
Kedua, isu sektarian, yaitu isu-isu yang melibatkan perseteruan terkait interpretasi atau pemahaman ajaran dalam suatu komunitas agama maupun status kepemimpinan dalam suatu kelompok keagamaan. Dalam Islam, kelompok Ahmadiyah, Lia-Eden dan Al Qiyadah Al Islamiyah adalah di antara kelompok-kelompok keagamaan yang kerap memicu berbagai insiden protes maupun kekerasan, baik yang dilakukan oleh kelompok keagamaan maupun warga masyarakat secara umum. Sedangkan dalam komunitas Kristen, konflik kepemimpinan gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) menjadi contoh yang mewakili isu sektarian ini.
Ketiga, isu komunal, yaitu isu-isu yang melibatkan perseteruan antar komunitas agama, seperti konflik Muslim-Kristen, maupun perseteruan antara kelompok agama dengan kelompok masyarakat lainnya yang tidak selalu bisa diidentifikasi berasal dari kelompok agama tertentu. Isu seperti penodaan agama, seperti dalam kasus karikatur tentang Nabi Muhammad, dimasukkan dalam kategori isu komunal ini. Perlu ditegaskan bahwa Perseteruan atau bentrok menyangkut suatu isu keagamaan – sepanjang kedua belah pihak yang terlibat tidak dapat diidentifikasi berasal atau mewakili komunitas keagamaan yang sama – juga dimasukkan dalam isu ini. Jika kedua belah pihak pelaku dapat diidentifikasi berasal dari komunitas agama yang sama, maka konflik semacam itu akan dimasukkan dalam kategori isu sektarian.
Keempat, isu terorisme, yaitu isu yang terkait dengan aksi-aksi serangan teror dengan sasaran kelompok keagamaan atau hak milik kelompok keagamaan tertentu, maupun serangan teror yang ditujukan terhadap warga asing maupun hak milik pemerintah asing. Tindakan kekerasan ini kerap disebut juga sebagai tindak terorisme keagamaan (religious terrorism),  yang  oleh  Juergensmeyer  dipandang  sebagai  “tindakan  simbolik”  atau  performance violence, ketimbang suatu tindakan taktis atau strategis. Untuk kasus Indonesia, contohnya adalah pengeboman di Bali yang dilakukan oleh kelompok Imam Samudra, dan berbagai serangan bom di Jakarta. Adapun kekerasan berupa serangan teror di wilayah konflik komunal, maupun insiden yang terkait dengan upaya penyelesaian konflik di wilayah komunal tertentu seperti Poso, Sulawesi Tengah, dan Ambon, Maluku, dimasukkan dalam kategori ketiga di atas, yaitu isu komunal.
Kelima, isu politik-keagamaan, yaitu isu-isu yang melibatkan sikap anti terhadap kebijakan pemerintah Barat atau pemerintah asing lainnya dan sikap kontra ideologi/kebudayaan Barat atau asing lainnya. Termasuk ke dalam isu politik-keagamaan di sini adalah isu penerapan Syariah Islam atau Islamisme, serta pro-kontra menyangkut kebijakan pemerintah Indonesia yang berdampak pada komunitas keagamaan tertentu.
Terakhir, keenam, isu lainnya, meliputi isu subkultur keagamaan mistis seperti santet, tenung dan sebagainya, maupun isu-isu lainnya yang tidak termasuk dalam 5 (lima) kategori sebelumnya.
Dalam studinya, Fauzi dkk., membagi jenis dan bentuk insiden kekerasan keagamaan degan berbagai kategori, yaitu; dari segi jenisnya, insiden kekerasan terkait konflik keagamaan dibagi menjadi:
a.      Penyerangan terhadap orang/kelompok orang
b.      Penyerangan terhadap properti milik orang/kelompok orang
c.      Penyerangan terhadap aparat pemerintah/properti milik pemerintah
d.      Penyerangan terhadap warga asing/properti milik pemerintah asing
e.      Bentrok antara warga/kelompok keagamaan vs aparat keamanan
f.       Bentrok antarakelompok warga, dan
g.   Kerusuhan/amuk  massa  berdampak  pada  korban  jiwa/kerusakan  properti  milik kelompok keagamaan.
Adapun dari segi bentuknya, kekerasan/penyerangan dikelompokkan menjadi:
a.      Penyisiran/pengusiran
b.      Penyanderaan/penculikan/penahanan
c.      Penganiyaan
d.      Penganiyaan hingga tewas
e.      Penembakan/pembunuhan
f.       Penyitaan/penyegelan
g.      Perusakan
h.      Perusakan disertai penjarahan/pembakaran
i.       Pengeboman
j.       Penganiayaan/pembunuhan disertai perusakan/pembakaran
Bentuk-bentuk kekerasan yang jelas menimbulkan ketegangan sosial di atas masih terus terjadi di Indonesia. Ketegangan sosial tersebut mempengaruhi sistem dan struktur sosial pada wilayah tertentu karena terjadina perubahan sosial. Jika agama tidak dapat mencari solusi atas berbagai potensi ketegangan sosial maka ketegangan sosial tersebut akan terus terjadi dan berpotensi menimbulkan konflik terbuka apalagi jika sudah ada pihak-pihak tertentu yang melakukan politisasi isu-isu agama dengan mengaitkannya dengan isu kesenjangan dan ketidakadilan terhadap kelompok tertentu.
Konflik politik, jenis konflik ini terjadi karena adanya gesekan dan ketidak sepkatan terkait dengan isu politik sehingga dua pihak atau lebih terlibat konflik, baik yang bersifat laten maupun yang tampak, termasuk di dalam aksi damai dalam bentuk aksi protes (aksi menolak suatu pandangan atau kebijakan menyangkut isu yang diperselisihkan), aksi mendukung suatu pandangan atau kebijakan menyangkut isu yang diperselisihkan, maupun aksi mediasi. Biasanya, jenis konflik ini ditandai dengan adanya proses politik seperti Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) langsung, Pemilu legislatif, dan Pemilu Presiden dan wakil presiden. Selain itu, konflik ini juga kadang timbul karena adanya kebijakan politik yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan politik tertentu.
Konflik sumber daya alam, dalam penelitian ini, terkait dengan perebutan akses dan penguasaan oleh pihak tertentu sementara pihak lainnya merasa dirugikan atau diperlakukan tidak adil terhadap sumber daya alam teresbut, seperti terjadinya konflik akibat adanya ketimpangan pengelolaan sumber daya air, sumber daya kehutanana, dan sumber daya agrarian.
Konflik lainnya adalah konflik sumber daya ekonomi. Konflik ini ditandai oleh terjadinya perselisihan atau ketidaksepahaman antar pihak berkonflik yang merasa mendapat perlakuan tidak adil, diskriminatif, bahkan cenderung dibatasi oleh salah satu pihak dalam hak akses dan kepemilikan sumber daya ekonomi, seperti kepemilikan kios di pasar, termat berjualan, konflik yang terjadi akibat transaksi ekonomi yang menyimpang secara hukum sehingga berdampak pada terjadinya distabilitas sosial.
Sementara itu, konflik komunal adalah konflik yang melibatkan komunitas dalam skala yang lebih luas. Konflik ini bisa berbentuk konflik laten karena adanya sumber konflik yang telah tersimpan lama dan tidak pernah terselesaikan sehingga ketika ada pemicu konflik, seperti kesalahfahaman salah seorang pemuda dengan pemuda lainnya dari komunitas lainnya, dapat menimbulka konflik komunal, seperti pertikaian antara kampung, antar desa, dan lainnya. Contohnya juga bisa dilihat pada penghakiman massa, pengeroyokan yang berujung pada konflik antar massa yang berkonflik. Konflik komunal ini identik dengan konflik horizontal.
Ada pula jenis konlik sosial yang disebut konflik vertikal. Jenis konflik ini ditandai oleh terjadinya konflik antara kelompok masyarakat dengan aparat, atau aparat dengan aparat yang berada pada level di atasnya. Sebagai contoh, konflik separatis yang ingin memisahkan diri dari negara. Bahkan, tekanan yang dilakukan oleh negara terhadap komunitas tertentu juga dikategorikan konflik vertikal. Contoh lainnya, adalah demontrasi mahasiswa yang menuntuk perbaikan sistem pemerintahan dan kebijakan juga dapat dikategorikan sebagai konflik vertikal.
Di Indonesia, ada pula konflik yang dikenal dengan nama konflik teritorial. Konflik ini yerjadi karena adanya ketidaksepahaman antara tapal batas wilayah pemerintahan sehingga masyarakt juga terlibat di dalam konflik karena masyarakat berada pada wilayah tapal batas tersebut. Persoalan tapal batas ini masih banyak ditemukan di Indonesia, bukan hanya tapal batas dengan negara lain, tapi juga tapal batas antara desa dengan desa, kabupaten dengan kabupaten, bahkan provinsi dengan provinsi. Konflik ini juga biasa disebut konflik antar pemerintahan. Meskipun, secera esensial yang berkonflik adalah pemerintah dengan pemerintah namun masyarakat pada dua daerah pemerintahan biasanya juga terlibat konflik karena adanya klaim atas wilayah tertentu. 
Ada pula konflik yang terjadi karena adanya kesenjangan kelas masyarakat. Konflik ini disebut konflik kelas. Biasanya, konflik ini terjadi antara masyarakat yang kelas ekonominya lebih rendah dengan ekonomi yang lebih tinggi, kelas yang status sosialnya lebih rendah dengan yang lebih tinggi, bahkan kadang pula terjadi konflik antara kelas pekerja dengan kelas manager atau kelas pekerja dengan majikan. Konflik ini ini biasanya dilakuka dengan aksi unjuk rasa, seperti aksi untuk rasa pekerja dengan pengusaha dalam menuntuk kenaikan gaji atau terkait dengan kebijakan pengupahan.
Sementara itu, konflik antar aparat dengan aparat, baik pada aparat pemerintahan sipil maupun kepolisian dan militer (TNI) disebut konflik antar aparat. Konflik ini biasanya terjadi akibat adanya petikaian antara satu kelompok aparat dengan aparat lainnya dari kesatuan atau unit kerja berbeda. Biasanya, konflik ini bermula dari pertikaian individual salah seorang aparat dengan aparat lainnya dari kesatuan atau unit kerja aparat yang berbeda tersebut. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar