Menurut Dahrendorf dalam Liliweri
(2009) ada beberapa suasana yang dapat mendorong terjadinya konflik, yaitu:
a.
Ada
sejumlah individu atau kelompok yang merasa dipisahkan, dibedakan,
dianaktirikan, dari suasana kesamaan pada semua level. Sebagai contoh dalam
organisasi, orang-orang yang merasa dipisahkan tersebut akan membuat kelompok
sendiri yang tidak terikat pada organisasi, namun secara individual maupun
kelompok, mereka terikat dengan sesama baik dalam organisasi maupun di luar
organisasi. Ikatan tersebut berbentuk ikatan sukarela, agama, keluarga,
komunitas, bangsa atau menurut bentuk perkumpulan lain.
b.
Tidak
ada interaksi antar anggota kelompok.
c.
Ada
perbedaan posisi dan peran para anggota kelompok, apalagi jika semakin
diperparah dengan adanya hirarki relasi.
d.
Ada
kelangkaan kebutuhan dan keinginan terhadap sumber daya, yang membuat banyak
orang merasa tidak puas atas ketidakadilan distribusi sumber daya tersebut.
Selain itu, terjadinya konflik dapat
pula disebabkan oleh beberapa pemicu, seperti; perbedaan nilai, kesalahan
komunikasi, kepemimpinan, ketidaksesuaian peran, rendahnya produktifitas,
perubahan keseimbangan, dan konflik yang berlum terselesaikan.
Liliweri mengemukakan bahwa kebanyakan
konflik terjadi karena adanya perbedaan nilai dimana nilai merupakan dasar atau
pedoman tempat kelompok masyarakat tertentu menggantungkan pikiran, perasaan
dan tindakan mereka. Biasanya, adanya nilai lain yang tidak sesaui dengan nilai
yang sudah ada dalam masyarakat tertentu namun tetap berusaha dipaksakan
sehingga mengakibatkan terjadinya konflik. Hal ini terkait dengan keyakinan,
kebudayaan, perasaan kolektif masyarakat, dan bahkan ideologi.
Penyebab konflik lainnya adalah
kegagalan komunikasi. Betapa banyak konflik yang terjadi sebagai akibat dari
terjadinya kesalahan komunikasi. Akibatnya, informasi yang diterima dari
pihak-pihak yang bertikai saling bersilang atau tidak sesuai lalu menimbulkan
kesalahfahaman. Keadaan ini mendorong dua pihak yang berselisih saling
merasakan kecemasan.
Sementara itu, kepemimpinan yang
kurang efektif atau tidak memberikan rasa keadilan juga berpotensi menimbulkan
konflik. Biasanya konflik ini terjadi dalam perusahaan atau komunitas.
Ketidakadilan yang ditimbulkan oleh kepemimpina yang tidak efektif ini sangat
rawan menimbulkan konflik karena adanya kecemburuan sosial antara karyawan atau
anggota komunitas tertentu. Akibatnya, konflik akan merusak stabilitas
organisasi atau perusahaan.
Perebutan peran-peran strategis juga
seringkali mimbulkan konfik. Karena ketidaksesuaian peran kadang menimbulkan
persepsi yang berimplikasi pada konflik dalam sebuah organisasi atau
perusahaan. Hal ini sering menimbulkan kecemburuan orang lain yang meresa bahwa
perannya diperkecil sementara peran orang lain semakin diperbesar. Sehingga
terjadi perebutan peran.
Demikian halnya dengan rendahnya
produktifitas kadang menyebabkan terjadinya konflik antara pihak yang bekerja
sama baik antara pimpinan organisasi atau perusahaan maupun antar perusahaan
atau organisasi dengan organisasi lainnya. Rendahnya produktifitas biasany
menimbulkan prasangka dari salah satu pihak yang merasa dirugikan sehingga
menuntut pihak lainnya untuk bertanggung jawab. Sementara dipihak lainnya
mengemukakan argumentasi bahwa rendahnya produktifitas disebabkan oleh
rendahnya dukungan fasilitas dan sumber daya yang diberikan. Sehingga
terjadilah silang prasangka yang berpotensi memicu konflik.
Mutasi atau perpindahan pegawai atau
pejabat pada lingkup organisasi tertentu dapat menimbulkan terjadinya perubahan
keseimbangan dalam organisasi tersebut. Perubahan ini, bisa pula terjadi karena
faktor alam, misalnya terjadi bencana dan sebagainya. Mutasi atau rotasi
pegawai, bahkan pejabat seringkali menimbulkan kecemburuan pejabat atau pegawai
lainnya karena itu rotasi maupun mutasi ini juga cenderung menimbulkan konflik.
Dendam seringkali menjadi pemicu
konflik menjadi konflik terbuka dengan skala besar. Hal ini disebabkan oleh
adanya akar konflik yang berlum terselesaikan, baik dalam bentuk pemberiaan
maaf, penyatuan, kohesi atau integrasi atau akomodasi. Sehingga benih-benih
dendam senantiasa tertanam dalam sebuah organisasi atau komunitas. Karena itu,
setiap konflik harus diselesaikan akar masalahnya sehingga benih dendam tidak
tumbuh subur yang pada gilirannya menyulut terjadinya konflik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar