Syamsuddin Simmau
Pendapat Henslin
(2006:116), sebagaimana telah dijelaskan juga pada bab terdahulu bahwa keluarga
(family) terdiri atas
individu-individu yang menganggap bahwa mereka memiliki hubungan darah,
pernihakan atau adopsi. Di negara-negara barat batas-batas antara rumah tangga dan keluarga tidak jelas
karena mereka menganggap bahwa keluarga terdiri dari seorang suami, istri dan
anak-anak. Tapi kenyataannya, ada juga rumah tangga yang hidup serumah dengan
mertua atau orang tua mereka. Karena itu, keluarga dan rumah tangga bagi
Henslin tidak terlalu dikotomikan.
Berdasar
pada pandangan Henslin tersebut maka keluarga dengan sendirinya akan mengalami
perkembangan ke arah yang lebih besar. Setiap individu bisa saja menjadi
anggota keluarga yang baru melalui jalan pernikahan. Dari proses pernikahan,
dua sistem kekeluargaan atau lebih akan saling mengikat diri menjadi sistem
kekeluargaan yang lebih besar. Selain proses pernihakan, pertambahan anggota
keluarga juga bisa bertambah melalui proses adopsi.
Berkaitan
dengan batasan mengenai keluarga, Collins (1987) tidak sekedar membatasi
keluarga menurut pandangan bahwa seorang ayah menikah dengan seorang ibu dan
melahirkan anak-anak. Collins (1987:28) menulis:
The
question of defining a family may like a simple one. What automatically comes
to mind is a husband, wife, and children, living together in a house. But
families are both more and less than this. If we bring other relatives into the
household, they too are part of the family. Moreover, there is a sense in which
we say people comprise a family even if they don’t live together. This is what
we mean when we say, “The family all gathered at Grandma’s for Thanksgiving.”
(Pertanyaan tentang definisi suatu keluarga
bisa dipandang sebagai satu hal yang sederhana. Apa yang muncul secara otomatis
ke dalam pikiran adalah ada seorang suami, isteri, dan anak, tinggal bersama
dalam satu rumah. Tapi keluarga bisa bermakna lebih atau kurang dari pengertian
ini. Jika kita membawa keluarga lain dalam rumah tangga maka tampak bahwa
mereka juga adalah bagian dari keluarga. Lebih dari itu, sebagaimana kita
katakan bahwa orang termasuk sebuah keluarga meskipun mereka tidak tinggal
bersama. Inilah yang kita maksud dengan, “Keluarga berkumpul di nenek untuk
merayakan thanksgiving.”)
Pandangan
Collins tersebut menunjukkan bahwa adanya anggota keluarga tidak hanya
disebabkan oleh faktor perkawinan belaka, bahwa seorang keluarga lain
ketika diajak ke dalam keluarga maka
mereka juga adalah anggota dari keluarga. Sebuah keluarga juga tidak mesti
tinggal bersama.
Lebih
dari itu, pandangan Collins mencakup keluarga dalam pengertian yang lebih luas lagi
karena ia memandang pernikahan kaum lesbian
dan guy juga merupakan bentuk-bentuk
keluarga. Dengan demikian Collins tidak membatasi diri pada apa yang ia sebut
dengan sexualintercourse (hubungan
seksual) yang melahirkan anak saja. Collins mencontohkan bahwa pada suku Nuer
di Sudan, dua orang perempuan dibolehkan menikah bersama. Seorang perempuan
yang lebih kaya boleh menikahi seorang perempuan yang lebih muda. Mereka
menikah juga menikah secara seremonial sebagaimana pernikahan perempuan dan
laki-laki. Untuk melengkapi keluarga mereka, perempuan yang lebih tua tersebut,
yang mereka sebut “suami”, mencari laki-laki untuk menghamili istrinya (perempuan
muda yang telah ia nikahi). Kemudian, anak yang lahir diserahkan kepada
perempuan yang lebih tua (suami) yang kemudian disebut “ayah”.
Yang
terpenting bagi Collins (1987: 34), bukanlah definisi keluarga, tetapi
penekanan mengenai keluarga itu sendiri. Collins berpandangan bahwa esensi
sebuah keluarga adalah bukan terletak pada proses kelahiran anak saja, tapi
lebih dari itu adalah bagaimana menempatkan anak-anak tersebut dalam struktur
sosial. Keluarga seharusnya melakukan transformasi fakta-fakta bilogis ke dalam
organisasi sosial, kemudian membentuk jaringan orang tua dan anak. Selanjutnya
keluarga memperkenalkan peran-peran sosial anak serta melakukan sosialisasi
terhadap nilai-nilai budaya.
Peran
penting keluarga dalam masyarakat tidak dapat disangkal lagi. Untuk memperkuat
pernyataan ini, menurut La Play
(1806-1882) dalam teori determinismenya (Veeger, 1986:55), dia berkeinginan untuk memulihkan keadaan
yang tertib di negaranya. Namun, timbul pertanyaan dalam dirinya bahwa apa yang
harus diperbuat supaya semua orang di negaranya kembali lagi merasakan rasa
aman dan sentosa, kembali lagi menaati nilai-nilai etis dan kembali lagi
bersatu padu ? Rupanya ia berpendapat bahwa jawaban atas semua pertanyaan
tersebut adalah berhubungan dengan keluarga. Setelah melakukan penelitian
mengenai keluarga, La Play mengatakan
bahwa untuk mengenal masyarakat maka terlebih dahulu harus mengenal keluarga.
Karena keluarga bukan saja terdiri dari individu-individu yang ada di dalamnya
tapi juga terdiri dari lembaga-lembaga keluarga lain. Dengan demikian, struktur
keluarga serta pola relasi kekeluargaan sangat menentukan kondisi ketertiban
masyarakat (social order) atau
kekacauan masyarakat (social disorder).
Sejalan
dengan pandangan di atas, Goode (2004:4) mengatakan bahwa keluarga terdiri dari
pribadi-pribadi tapi sekaligus keluarga merupakan bagian dari jaringan sosial
yang lebih besar. Dalam menjalankan fungsinya, keluarga merupakan sarana
pengenalan masyarakat. Dalam hal ini, Goode berpandangan bahwa masyarakat dan
individu merupakan hubungan timbal balik; individu-individu dalam keluarga akan
memperoleh dukungan dari masyarakat dan masyarakat membutuhkan dukungan dari
individu-individu. Karena itu, demikian pentingnya keluarga, Goode menilai
bahwa keluarga berfungsi sebagai katalisator bagi individu-individu untuk
berinteraksi dengan hubungan sosial yang lebih besar.
Lebih
jauh, Goode berpendapat bahwa suatu masyarakat tidak mampu mempertahankan
eksistensinya jika kebutuhannya tidak dapat dipenuhi oleh keluarga. Dalam
kaitan ini, keluarga dipandang sebagai produksi dan distributor hasil-hasil
produksi, sekaligus, keluarga merupakan sarana perlindungan bagi orang tua dan
anak-anak, orang sakit dan perempuan hamil, persamaan hukum dan lain-lain.
Karena
itu, tidak heran, jika Goode meyakini bahwa keluarga merupakan satu-satunya
lembaga sosial, selain agama, yang secara resmi telah berkembang dalam
masyarakat. Dalam hal ini, tugas-tugas kekeluargaan merupakan tanggung jawab
setiap pribadi dalam masyarakat. Tanggung jawab tersebut cukup beralasan karena
setiap individu dilahirkan dari keluarga dan juga membentuk keluarga-keluarga
lainnya. Tanggung jawab keluarga tidak dapat diwakilkan kepada orang lain.
Dengan demikian, setiap orang harus menyesuaikan diri kepada tuntutan-tuntutan
keluarga.
Dalam pandangan
senada, Dianne Gittens menekankan bahwa keluarga adalah institusi universal
yang menunjukkan fungsi-fungsi esensial individu-individu dan masyarakat
(Abbott & Wallace, 1997:137).
Semakin jelaslah bahwa masyarakat dan keluarga
tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Keluarga merupakan institusi penting
dalam mendukung eksistensi masyarakat. Keluarga sangat menentukan
institusi-institusi lain dalam masyarakat. Karena dari keluargalah sumber daya
manusia itu berasal, di mana sumber daya manusia berupa individu-individu
menjadi tenaga kerja dalam relasi bisnis, menjadi pengusaha dan menjadi
industriawan. Dalam bidang pendidikan; keluargalah yang menyuplai para guru
besar, dosen, guru, murid, mahasiswa dan lain-lain. Dalam konteks negara;
keluargalah yang menyuplai pejabat, anggota parlemen, anggota partai politik, militer,
petugas sipil dan bahkan dalam institusi agama sekalipun; keluargalah yang
menjadi ulama, ustadz, paus, uskup, pendeta, biarawati, bante dan lain-lain,
sekaligus keluargalah yang menyediakan umat beragama. Dengan demikian, cukup
beralasan jika dipertegas bahwa rumah tangga sepatutnya menjadi keluarga yang
idel, demokrtais dan sehat. Sehingga keluarga mampu berperan maksimal dalam
mewujudkan tatanan sosial yang tertib namun dinamis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar