Menurut Ife
& Toseriero (2008), pemberdayaan tidak bisa dilepaskan dengan kekuasaan.
Karena itu, pemberdayaan kiranya dapat ditinjau dari berbabagi perspektif,
yaiti; perspektif pluralis, perspektif elite, perspektif struktural dan
perspektif post-struktutal. Menurut pandangan pluralis, pemberdayaan merupakan
suatu proses menolong kelompok atau individu yang dirugikan untuk bersaing
secara lebih efektif dengan kepentingan-kepentingan lain, dengan menolong
mereka untuk belajar dan menggunakan keterampilan-keterampilan dalam melobi,
menggunakan media, melakukan aksi politik, memahami bagaimana memanfaatkan
sistem, dan sebagainya.
Sedangkan
menurut perspektif elite, masyarakat dipandang memiliki hirarkhi dengan
kelompok-kelompok tertentu dalam menjalankan kekuasaan dan kontrol. Dalam hal
ini, pemberdayaan dinilai lebih dari sekedar memiliki kemampuan berkompetesi
untuk kekuasaan politik dengan memainkan permainan; aturan main yang telah
ditetapkan oleh elite pengusaha dan karena itu cenderung akan menguntungkan
mereka.
Sementara itu,
perspektif struktural memandang pemberdayaan sebagai agenda yang jauh lebih
menantang, karena hal itu hanya dapat dicapai secara efektif jika bentuk-bentuk
struktur yang merugikan ditantang dan diatasi. Karena itu, pemberdayaan, selalu
merupakan bagian dari program perubahan sosial yang lebih luas, dengan
pandangan untuk melucuti struktur-struktur opresif yang dominan.
Lain halnya
dengan perspektif post-struktutal. Pandangan ini mengacu pada Foucault (1973,
1979; Rouse, 1984) yang melacak cara-cara berbagai gagasan, bahasa, dan
definisi pengetahuan telah digunakan sebagai suatu mekanisme kontrol yang
utama. Perspektif ini memandang pemberdayaan sebagai suatu proses menantang dan
mengubah wacana. Ia menekankan pengertian-pengertian subjektif manusia dan
konstruksi pandangan dunia mereka, dan menunjuk kepada kebutuhan untuk
mendekonstruksi pengertian-pengertian ini dan pembentukan suatu kosa kata
alternatif untuk pemberdayaan. Dengan demikian, perspektif post-struktural ini
menegaskan mengenai pentingnya pengertian, analisis, dekonstruksi, pendidikan
dan partisipasi dalam wacana-wacana kekuasaan, dan melihat suatu konsentrasi
pada aksi saja sebagai tidak mencukupi (Ife & Toseriero (2008).
Selain Ife dan
Toseriero, Suharto (2010) mengemukakan bahwa pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment) berasal dari kata power (kekuasaan atau keberdayaan).
Karenya, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan.
Karena itu, pemberdayaan merujuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok
rentan dan lemah, sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam
memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan dari kelaparan,
bebas dari kebodohan dan bebas dari kesakitan. Selain itu, mereka juga mampu
menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan
pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan.
Poin yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa kekuasaan tersebut dapat membawa
kelompok marginal keluar dari kondisi ketermarginalan mereka menuju pada
kemampuan untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan
yang mempengaruhi mereka.
Sementara
itu, Parson mengatakan bahwa pemberdayaan adalah sebuha proses dengan mana
orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan atas,
dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang
mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh
keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi
kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya Suharto (2010).
Sementara
itu, Kartasasmita (1995) mengemukakan bahwa upaya memberdayakan harus dilakukan
melalui tiga cara, yaitu; membuat suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat untuk berkembang, memperkuat potensi yang dimiliki oleh rakyat
dengan menerapkan langkah-langkah nyata, menampung berbagai masukan,
menyediakan prasarana dan sarana, maupun sosial (sekolah dan fasilitas
kesehatan) yang dapat diakses oleh masyarakat lapisan bawah, dan memberdayakan
rakyat dalam arti melindungi dan membela kepentingan masyarakat lemah (Hidayat,
2013).
Terkait
dengan diskursus kemiskinan dan pemberdayaan David Cox telah menegaskan bahwa
kemiskinan selalu menjadi indikator kunci untuk melakukan pemberdayaan itu
(Suharto, 2010). Pendapat ini seakan-akan menegaskan bahwa alasan dilakukannya
pemberdayaan adalah karena adanya kemiskinan. Padahal ada kondisi lain yang mengharusnya
dilalukakannnya pemerdayaan.
Patut ditelaah secara kritis bahwa pemberdayaan tidak hanya terkait
dengan kemiskinan tapi juga terkait dengan marginalisasi. Dalam beberapa kasus,
komunitas ada keluarga kaya yang mengalami marginalisasi, seperti kelompok
perempuan, anak dan kelompok difabel. Perempuan dan anak dalam keluarga kaya
bisa jadi merupakan kelompok yang terintimidasi secara sosial dan ekonomi. Mereka
hanya menjadi kelas kedua dalam keluarganya. Karena itu, dalam kasus seperti
ini perlu dilakukan pemberdayaan. Pembedayaan dalam konteks ini, tentu saja
tidak hanya dilakukan terjadap kelompok yang dimarginalisasi tapi juga kepada
kelompok yang melakukan marginalisasi. Sebab, pemberdayaan tidak cukup hanya
dengan “merebut” keberdayaan tapi yang paling penting adalah kesadaran untuk
memberi ruang dan kesempatan keberdayaan kepada setiap orang, termasuk bagi
anggota keluarga. Karena itu, prinsip pemberdayaan semestinya merujuk pada azaz
kemanusiaan yang berdaya, yaitu manusia (laki-laki, perempuan, anaka-anak dan
orang tua, kelompok difabel dan penyandang masalah sosial) adalah manusia yang
memiliki kesempatan dan hak yang sama untuk memperoleh prinsip kemerdekaan
sebagai manifestasi dari ide absolut dari keberdayaan itu.
Daftar Pustaka
Ife,Jim & Tesoriero, Frank. Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi Community Development. Terjemahan oleh Sastrawan Manullang dkk. 2008. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suharto, Edi. 2010. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: Aditama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar