Minggu, 07 Juni 2015

PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA

Syamsuddin Simmau

Pembagian peran kerja merupakan hal penting dalam sebuah rumah tangga. Karena itu, pembagian kerja juga patut diperhitungkan dalam memandang penelitian ini. Karena menurut Henslin  (2006:116), yang mengutip penelitian Hecker, Nowak dan Snyder, bahwa salah satu penyebab terjadinya perceraian adalah tingginya pendapatan isteri dibandingkan dengan pendapatan suami. Dengan demikian, pembagian peran dalam rumah tangga dipandang penting untuk dibahas.

Pada umumnya, kedudukan peran dan fungsi suami, isteri, orang tua dan anak-anak ditentukan oleh kewajiban-kewajiban di dalam keluarga dan masyarakat. Orang tua pertama-tama harus menyosialisasikan anak-anak mereka sekaligus juga menjadi pengontrol sosial anak-anak mereka jika anak-anak meninggalkan rumah.
Ketika anak-anak masih kecil, anak-anak mendapat perlindungan penuh. Namun seiring dengan perkembangannya, kebutuhan anak-anak tidak dapat ditawar lagi oleh orang tua dan saudara-saudaranya yang lain. dalam proses ini, anak-anak dan anggota keluarga lain sesungguhnya dibentuk oleh anggota keluarga lainnya. Dengan demikian, jelaslah bahwa fungsi orang tua dan orang dewasa lainnya memberikan perlindungan kepada anak-anak selain memberi ruang untuk bersosialisasi. Pengalaman bersosialisasi anak-anak hingga ia tumbuh menjadi anak muda mulai memperoleh nilai-nilai dan keahlian-keahlian orang tua mereka. Nilai-nilai tersebut menjadi nilai dasar ketika mereka menjadi dewasa.
Pembagian peran menurut jenis kelamin juga terjadi dalam rumah tangga. Sebagaimana dijelaskan Goode (2004;141-143), bahwa pada semua masyarakat, tugas-tugas tertentu diberikan kepada wanita dan tugas-tugas lainnya diberikan kepada laki-laki, dan ada juga pekerjaan yang dapat dikerjakan oleh keduanya.
Goode mengungkapkan bahwa ¾ atau lebih masyarakat, berdasarkan data, wanita mengerjakan tugas-tugas sebagai berikut; menggiling gandum, mengangkat air, memasak, mengawetkan makanan, membetulkan dan membuat pakaian, menenun, mengumpulkan makanan dan juga membuat barang-barang dari tanah liat. Semua tugas tersebut dapat dikerjakan wanita dengan tetap tinggal dekat kepada anak-anak dan tempat tinggal. Sementara laki-laki, pada kebanyakan masyarakat bertugas; mengembala berburu, menangkap ikan, menebang pohon, menambang dan menggali, pandai besi, membuat alat-alat musik, mengerjakan peralatan upacara, bertukang dan membuat rumah.
Rupanya pembagian tugas tersebut, kata Goode, tidak berdasar pada pertimbangan kemampuan karena kenyataanya bahwa laki-laki pun bisa mengerjakan semua pekerjaan wanita, tetapi mereka tidak melakukannya. Pembagian pekerjaan itu secara nyata buka berdasarkan pertimbangan bilogis tapi hal ini lebih didorong oleh faktor kedudukan suami, atau laki-laki, bahwa semua pekerjaan laki-laki tersebut dianggap oleh masyarakat sebagai pekerjaan terhormat. Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa pembagian pekerjaan laki-laki dan perempuan tersebut bukanlah berdasar atas kehendak bebas melainkan sebagai hasil konstruksi masyarakat.
Rupanya, terdapat perbedaan pandangan laki-laki dan perempuan terhadap keberadaan keduanya. Berdasarkan penelitian, seperti yang disajikan Goode (2004:144-145), bahwa wanita menyangkal adanya perbedaan yang besar antara laki-laki dan wanita sementara laki-laki tidak hanya menganggap bahwa perbedaan itu ada tapi justru laki-laki itu percaya bahwa wanita itu demikian sentimentil dan tidak logis sehingga wanita tidak mampu melihat adanya perbedaan-perbedaan itu.
Selain itu, wanita dikatakan sebagai determinis, terutama determinis psikologis. Sebaliknya laki-laki menekankan bahwa individu itu bebas bahwa orang yang mau melakukan sesuatu akan dapat melakukannya. Wanita memandang bahwa manusia dapat dibuat menjadi lebih baik. Sementara laki-laki mengenyampingkan hal tersebut bahkan memandang sebagai sesuatu yang naif. Wanita lebih mampu menyesuaikan terhadap kekeraskepalaan orang lain, sementara laki-laki cenderung memaksakan perbaikan yang terus menerus.
Apakah peran-peran seks akan mempengaruhi tumbuh kembang perilaku anak-anak? Goode (2004;139) menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan bahwa keberhasilan keluarga menanamkan peran seksual tergantung pada struktur keluarga itu, terutama tersedianya contoh model bagi anak-anak. Menurt Goode, seorang anak laki-laki yang dibesarkan bersama-sama dengan kakak laki-lakinya akan lebih cepat menerima sepenuhnya ciri-ciri kejantanan dan kebudayaannya dibanding seorang anak laki-laki yang dibesarkan bersama kakak perempuannya. Sebuah penelitian juga menunjukkan bahwa di dalam rumah tangga yang memiliki dua anak; seorang perempuan dan seorang laki-laki, masing-masing anak akan mengambil ciri-ciri lawan jenisnya.
Lebih jelasnya, Goode memaparkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ketidakhadiran ayah, bagi keluarga-keluarga pelaut, dalam waktu yang lama berpengaruh terhadap perilaku anak-anak. Dalam penelitian ini, anak laki-laki yang jarang bertemu ayahnya cenderung untuk lebih sulir menyesuaikan diri sementara anak perempuan tidak demikian. Dalam hal ini, anak perempuan memiliki contoh model karena ibunya tetap berada di rumah. Sementara anak laki-laki kurang bergaul dengan contoh ayah yang sesuai. Sehingga anak laki-laki cenderung menghayalkan model kejantanan atau memperlihatkan perilaku kejantanan yang berlebihan tapi perilaku kejantanan itu bersifat dangkal dengan tidak hadirnya ayah secara sosial.
Bagaimana dengan ibu yang bekerja ? Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan dalam uraian Goode (2004:154), bahwa di negara-negara Barat dan Eropa, bekerjannya sang istri meningkatkan pertentangan dalam perkawinan tapi tidak mempengaruhi kebahagiaan umum dalam keluarga. Dengan bekerjanaya istri maka kekuasaan istri juga semakin meningkat secara sosial-ekonomi. Sementara istri yang bekerja di rumah memiliki kekuasaan yang lebih kecil.
Bagi ibu yang berada rumah tangga kelas rendah, dimana ibu memiliki beban ganda dan waktu luang yang sedikit bagi anaknya maka anak-anak mereka cenderung mencari teman kencan tetap sebagai pengganti keamanan keluarga atau kekurangan akan keberadaan teman.
Hasil penelitian lainnya adalah anak laki-laki yang memiliki dorongan motivasi untuk berprestasi juga mendapat dukungan emosional dari ibu mereka. Karena ibu yang selalu memberikan dorongan kepada anak-anak mereka untuk mencapai prestasi. Dalam hal ini, Freud, jelas Goode (2004;157), pernah menulis mengenai kebahagiaan khusus yang dialami seorang anak laki-laki yang mengetahui bahwa ia adalah anak kesayangan ibunya.
Berkaitan dengan penelitian ini, kehadiran ayah dan ibu dipandang sangat menentukan tumbuh kembang anak-anak. Selain itu, pembagian kekuasan dalam rumah tangga melalui peran-peran seks terbukti mendorong peningkatan mental anak-anak. Dengan demikian, pembagian peran dalam rumah tangga dipandang sangat penting dalam mewujudkan sebuah rumah tangga yang harmonis dan berkualitas.
Selain memotret pembagian dan pekerjaan dalam pandangan seksualitas, ada baiknya hasil penelitian Baincci dkk (Henslin, 2006:120) perlu diketengahkan di sini. Menurut penelitian tersebut, menurut laki-laki, pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan kedua setelah mereka bekerja di siang hari mencari nafkah. Dalam hal ini, para laki-laki memandang bahwa mereka sekedar membantu jika mereka melakukan pekerjaan rumah tangga. Sebaliknya, ketika para isteri memasak, membersihkan dan mengasuh anak-anak setelah bekerja di kantor pada siang hari, banyak dari mereka yang merasa lelah, terkuras secara emosional dan kesal. Masalah ini, seringkali timbul di tempat tidur dimana para isteri tidak berminat melakukan kegiatan seksual. 
Yang lebih ironis lagi, ketika suami yang memang telah melakukan lebih sedikit pekerjaan rumah tangga sebelumnya, ketika mereka diberhentikan dari pekerjaan justru mereka melakukan lebih sedikit lagi pekerjaan rumah tangga tersebut. Demikian pula halnya dengan suami yang berpenghasilan lebih sedikit dari pada isterinya justru mereka ini yang paling sedikit pula melakukan pekerjaan rumah tangga. Dengan demikian, menurut penelitian Hochschild (1989) dan Brines (1994) dalam Henslin (2006:122) mengemukakan bahwa jika seorang istri berpenghasilan lebih banyak dari pada suaminya maka maskulinitas laki-laki terancam. Dalam hal ini, sang suami memandang bahwa dirinya telah gagal menjalankan peran tradisionalnya sebagai pencari nafkah. Dia berpandangan bahwa pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan perempuan. Karena itu, dengan menghindari pekerjaan rumah tangga, sang suami berusaha merebut kembali maskulinitasnya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar