Syamsuddin Simmau
Pembagian peran kerja
merupakan hal penting dalam sebuah rumah tangga. Karena itu, pembagian kerja
juga patut diperhitungkan dalam memandang penelitian ini. Karena menurut
Henslin (2006:116), yang mengutip
penelitian Hecker, Nowak dan Snyder, bahwa salah satu penyebab terjadinya
perceraian adalah tingginya pendapatan isteri dibandingkan dengan pendapatan
suami. Dengan demikian, pembagian peran dalam rumah tangga dipandang penting
untuk dibahas.
Pada
umumnya, kedudukan peran dan fungsi suami, isteri, orang tua dan anak-anak ditentukan
oleh kewajiban-kewajiban di dalam keluarga dan masyarakat. Orang tua
pertama-tama harus menyosialisasikan anak-anak mereka sekaligus juga menjadi
pengontrol sosial anak-anak mereka jika anak-anak meninggalkan rumah.
Ketika
anak-anak masih kecil, anak-anak mendapat perlindungan penuh. Namun seiring
dengan perkembangannya, kebutuhan anak-anak tidak dapat ditawar lagi oleh orang
tua dan saudara-saudaranya yang lain. dalam proses ini, anak-anak dan anggota
keluarga lain sesungguhnya dibentuk oleh anggota keluarga lainnya. Dengan
demikian, jelaslah bahwa fungsi orang tua dan orang dewasa lainnya memberikan
perlindungan kepada anak-anak selain memberi ruang untuk bersosialisasi. Pengalaman
bersosialisasi anak-anak hingga ia tumbuh menjadi anak muda mulai memperoleh
nilai-nilai dan keahlian-keahlian orang tua mereka. Nilai-nilai tersebut
menjadi nilai dasar ketika mereka menjadi dewasa.
Pembagian
peran menurut jenis kelamin juga terjadi dalam rumah tangga. Sebagaimana
dijelaskan Goode (2004;141-143), bahwa pada semua masyarakat, tugas-tugas
tertentu diberikan kepada wanita dan tugas-tugas lainnya diberikan kepada
laki-laki, dan ada juga pekerjaan yang dapat dikerjakan oleh keduanya.
Goode
mengungkapkan bahwa ¾ atau lebih masyarakat, berdasarkan data, wanita
mengerjakan tugas-tugas sebagai berikut; menggiling gandum, mengangkat air,
memasak, mengawetkan makanan, membetulkan dan membuat pakaian, menenun,
mengumpulkan makanan dan juga membuat barang-barang dari tanah liat. Semua
tugas tersebut dapat dikerjakan wanita dengan tetap tinggal dekat kepada
anak-anak dan tempat tinggal. Sementara laki-laki, pada kebanyakan masyarakat
bertugas; mengembala berburu, menangkap ikan, menebang pohon, menambang dan
menggali, pandai besi, membuat alat-alat musik, mengerjakan peralatan upacara,
bertukang dan membuat rumah.
Rupanya
pembagian tugas tersebut, kata Goode, tidak berdasar pada pertimbangan
kemampuan karena kenyataanya bahwa laki-laki pun bisa mengerjakan semua
pekerjaan wanita, tetapi mereka tidak melakukannya. Pembagian pekerjaan itu
secara nyata buka berdasarkan pertimbangan bilogis tapi hal ini lebih didorong
oleh faktor kedudukan suami, atau laki-laki, bahwa semua pekerjaan laki-laki
tersebut dianggap oleh masyarakat sebagai pekerjaan terhormat. Dengan demikian,
dapat dijelaskan bahwa pembagian pekerjaan laki-laki dan perempuan tersebut
bukanlah berdasar atas kehendak bebas melainkan sebagai hasil konstruksi
masyarakat.
Rupanya,
terdapat perbedaan pandangan laki-laki dan perempuan terhadap keberadaan
keduanya. Berdasarkan penelitian, seperti yang disajikan Goode (2004:144-145),
bahwa wanita menyangkal adanya perbedaan yang besar antara laki-laki dan wanita
sementara laki-laki tidak hanya menganggap bahwa perbedaan itu ada tapi justru
laki-laki itu percaya bahwa wanita itu demikian sentimentil dan tidak logis
sehingga wanita tidak mampu melihat adanya perbedaan-perbedaan itu.
Selain
itu, wanita dikatakan sebagai determinis, terutama determinis psikologis.
Sebaliknya laki-laki menekankan bahwa individu itu bebas bahwa orang yang mau
melakukan sesuatu akan dapat melakukannya. Wanita memandang bahwa manusia dapat
dibuat menjadi lebih baik. Sementara laki-laki mengenyampingkan hal tersebut
bahkan memandang sebagai sesuatu yang naif. Wanita lebih mampu menyesuaikan
terhadap kekeraskepalaan orang lain, sementara laki-laki cenderung memaksakan
perbaikan yang terus menerus.
Apakah
peran-peran seks akan mempengaruhi tumbuh kembang perilaku anak-anak? Goode
(2004;139) menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan bahwa keberhasilan
keluarga menanamkan peran seksual tergantung pada struktur keluarga itu,
terutama tersedianya contoh model bagi anak-anak. Menurt Goode, seorang anak
laki-laki yang dibesarkan bersama-sama dengan kakak laki-lakinya akan lebih
cepat menerima sepenuhnya ciri-ciri kejantanan dan kebudayaannya dibanding
seorang anak laki-laki yang dibesarkan bersama kakak perempuannya. Sebuah
penelitian juga menunjukkan bahwa di dalam rumah tangga yang memiliki dua anak;
seorang perempuan dan seorang laki-laki, masing-masing anak akan mengambil
ciri-ciri lawan jenisnya.
Lebih
jelasnya, Goode memaparkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa
ketidakhadiran ayah, bagi keluarga-keluarga pelaut, dalam waktu yang lama
berpengaruh terhadap perilaku anak-anak. Dalam penelitian ini, anak laki-laki
yang jarang bertemu ayahnya cenderung untuk lebih sulir menyesuaikan diri
sementara anak perempuan tidak demikian. Dalam hal ini, anak perempuan memiliki
contoh model karena ibunya tetap berada di rumah. Sementara anak laki-laki
kurang bergaul dengan contoh ayah yang sesuai. Sehingga anak laki-laki
cenderung menghayalkan model kejantanan atau memperlihatkan perilaku kejantanan
yang berlebihan tapi perilaku kejantanan itu bersifat dangkal dengan tidak
hadirnya ayah secara sosial.
Bagaimana
dengan ibu yang bekerja ? Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan dalam
uraian Goode (2004:154), bahwa di negara-negara Barat dan Eropa, bekerjannya
sang istri meningkatkan pertentangan dalam perkawinan tapi tidak mempengaruhi
kebahagiaan umum dalam keluarga. Dengan bekerjanaya istri maka kekuasaan istri
juga semakin meningkat secara sosial-ekonomi. Sementara istri yang bekerja di
rumah memiliki kekuasaan yang lebih kecil.
Bagi
ibu yang berada rumah tangga kelas rendah, dimana ibu memiliki beban ganda dan
waktu luang yang sedikit bagi anaknya maka anak-anak mereka cenderung mencari
teman kencan tetap sebagai pengganti keamanan keluarga atau kekurangan akan
keberadaan teman.
Hasil
penelitian lainnya adalah anak laki-laki yang memiliki dorongan motivasi untuk
berprestasi juga mendapat dukungan emosional dari ibu mereka. Karena ibu yang
selalu memberikan dorongan kepada anak-anak mereka untuk mencapai prestasi.
Dalam hal ini, Freud, jelas Goode (2004;157), pernah menulis mengenai
kebahagiaan khusus yang dialami seorang anak laki-laki yang mengetahui bahwa ia
adalah anak kesayangan ibunya.
Berkaitan
dengan penelitian ini, kehadiran ayah dan ibu dipandang sangat menentukan
tumbuh kembang anak-anak. Selain itu, pembagian kekuasan dalam rumah tangga melalui
peran-peran seks terbukti mendorong peningkatan mental anak-anak. Dengan
demikian, pembagian peran dalam rumah tangga dipandang sangat penting dalam
mewujudkan sebuah rumah tangga yang harmonis dan berkualitas.
Selain memotret pembagian
dan pekerjaan dalam pandangan seksualitas, ada baiknya hasil penelitian Baincci
dkk (Henslin, 2006:120) perlu diketengahkan di sini. Menurut penelitian
tersebut, menurut laki-laki, pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan kedua
setelah mereka bekerja di siang hari mencari nafkah. Dalam hal ini, para laki-laki
memandang bahwa mereka sekedar membantu jika mereka melakukan pekerjaan rumah
tangga. Sebaliknya, ketika para isteri memasak, membersihkan dan mengasuh
anak-anak setelah bekerja di kantor pada siang hari, banyak dari mereka yang
merasa lelah, terkuras secara emosional dan kesal. Masalah ini, seringkali
timbul di tempat tidur dimana para isteri tidak berminat melakukan kegiatan
seksual.
Yang lebih ironis lagi, ketika suami yang memang
telah melakukan lebih sedikit pekerjaan rumah tangga sebelumnya, ketika mereka
diberhentikan dari pekerjaan justru mereka melakukan lebih sedikit lagi
pekerjaan rumah tangga tersebut. Demikian pula halnya dengan suami yang
berpenghasilan lebih sedikit dari pada isterinya justru mereka ini yang paling
sedikit pula melakukan pekerjaan rumah tangga. Dengan demikian, menurut
penelitian Hochschild (1989) dan Brines (1994) dalam Henslin (2006:122)
mengemukakan bahwa jika seorang istri berpenghasilan lebih banyak dari pada
suaminya maka maskulinitas laki-laki terancam. Dalam hal ini, sang suami
memandang bahwa dirinya telah gagal menjalankan peran tradisionalnya sebagai
pencari nafkah. Dia berpandangan bahwa pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan
perempuan. Karena itu, dengan menghindari pekerjaan rumah tangga, sang suami berusaha
merebut kembali maskulinitasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar