Senin, 11 Mei 2015

KONDISI YANG DAPAT MENDORONG TERJADINYA KONFLIK

Menurut Dahrendorf dalam Liliweri (2009) ada beberapa suasana yang dapat mendorong terjadinya konflik, yaitu:
a.   Ada sejumlah individu atau kelompok yang merasa dipisahkan, dibedakan, dianaktirikan, dari suasana kesamaan pada semua level. Sebagai contoh dalam organisasi, orang-orang yang merasa dipisahkan tersebut akan membuat kelompok sendiri yang tidak terikat pada organisasi, namun secara individual maupun kelompok, mereka terikat dengan sesama baik dalam organisasi maupun di luar organisasi. Ikatan tersebut berbentuk ikatan sukarela, agama, keluarga, komunitas, bangsa atau menurut bentuk perkumpulan lain.
b.   Tidak ada interaksi antar anggota kelompok.
c.   Ada perbedaan posisi dan peran para anggota kelompok, apalagi jika semakin diperparah dengan adanya hirarki relasi.
d.   Ada kelangkaan kebutuhan dan keinginan terhadap sumber daya, yang membuat banyak orang merasa tidak puas atas ketidakadilan distribusi sumber daya tersebut.    
Selain itu, terjadinya konflik dapat pula disebabkan oleh beberapa pemicu, seperti; perbedaan nilai, kesalahan komunikasi, kepemimpinan, ketidaksesuaian peran, rendahnya produktifitas, perubahan keseimbangan, dan konflik yang berlum terselesaikan.

Liliweri mengemukakan bahwa kebanyakan konflik terjadi karena adanya perbedaan nilai dimana nilai merupakan dasar atau pedoman tempat kelompok masyarakat tertentu menggantungkan pikiran, perasaan dan tindakan mereka. Biasanya, adanya nilai lain yang tidak sesaui dengan nilai yang sudah ada dalam masyarakat tertentu namun tetap berusaha dipaksakan sehingga mengakibatkan terjadinya konflik. Hal ini terkait dengan keyakinan, kebudayaan, perasaan kolektif masyarakat, dan bahkan ideologi.
Penyebab konflik lainnya adalah kegagalan komunikasi. Betapa banyak konflik yang terjadi sebagai akibat dari terjadinya kesalahan komunikasi. Akibatnya, informasi yang diterima dari pihak-pihak yang bertikai saling bersilang atau tidak sesuai lalu menimbulkan kesalahfahaman. Keadaan ini mendorong dua pihak yang berselisih saling merasakan kecemasan.
Sementara itu, kepemimpinan yang kurang efektif atau tidak memberikan rasa keadilan juga berpotensi menimbulkan konflik. Biasanya konflik ini terjadi dalam perusahaan atau komunitas. Ketidakadilan yang ditimbulkan oleh kepemimpina yang tidak efektif ini sangat rawan menimbulkan konflik karena adanya kecemburuan sosial antara karyawan atau anggota komunitas tertentu. Akibatnya, konflik akan merusak stabilitas organisasi atau perusahaan.
Perebutan peran-peran strategis juga seringkali mimbulkan konfik. Karena ketidaksesuaian peran kadang menimbulkan persepsi yang berimplikasi pada konflik dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Hal ini sering menimbulkan kecemburuan orang lain yang meresa bahwa perannya diperkecil sementara peran orang lain semakin diperbesar. Sehingga terjadi perebutan peran.  
Demikian halnya dengan rendahnya produktifitas kadang menyebabkan terjadinya konflik antara pihak yang bekerja sama baik antara pimpinan organisasi atau perusahaan maupun antar perusahaan atau organisasi dengan organisasi lainnya. Rendahnya produktifitas biasany menimbulkan prasangka dari salah satu pihak yang merasa dirugikan sehingga menuntut pihak lainnya untuk bertanggung jawab. Sementara dipihak lainnya mengemukakan argumentasi bahwa rendahnya produktifitas disebabkan oleh rendahnya dukungan fasilitas dan sumber daya yang diberikan. Sehingga terjadilah silang prasangka yang berpotensi memicu konflik.  
Mutasi atau perpindahan pegawai atau pejabat pada lingkup organisasi tertentu dapat menimbulkan terjadinya perubahan keseimbangan dalam organisasi tersebut. Perubahan ini, bisa pula terjadi karena faktor alam, misalnya terjadi bencana dan sebagainya. Mutasi atau rotasi pegawai, bahkan pejabat seringkali menimbulkan kecemburuan pejabat atau pegawai lainnya karena itu rotasi maupun mutasi ini juga cenderung menimbulkan konflik.

Dendam seringkali menjadi pemicu konflik menjadi konflik terbuka dengan skala besar. Hal ini disebabkan oleh adanya akar konflik yang berlum terselesaikan, baik dalam bentuk pemberiaan maaf, penyatuan, kohesi atau integrasi atau akomodasi. Sehingga benih-benih dendam senantiasa tertanam dalam sebuah organisasi atau komunitas. Karena itu, setiap konflik harus diselesaikan akar masalahnya sehingga benih dendam tidak tumbuh subur yang pada gilirannya menyulut terjadinya konflik. 












Tidak ada komentar:

Posting Komentar