Selasa, 14 Oktober 2014

Konsep Kemiskinan

Masyarakat pesisir, khususnya nelayan pada beberapa daerah identik dengan kemiskinan. Kemiskinan ini disebabkan oleh kondisi internal dan eksternal masyarakat. Kondisi internal bisa jadi disebabkan oleh rendahnya motivasi serta keterbatasan pendidikan dan keterampilan. Sementara, secara eksternal bisa jadi disebabkan oleh sistem pemerintahan maupun sistem pasar dan budaya.

Lokalitas

Pemberdayaan masyarakat hendaknya tidak lagi mengacu pada paradigma bahwa ada kondisi masyarakat yang tidak berdaya sementara pada sisi lain ada sekelompok orang yang “merasa” telah berdaya dan karenanya mampu melakukan pemeberdayaan. Pembedayaan model ini jelas menempatkan kelompok masyarakat yang tidak berdaya sebagai masyarakat yang tersubordinasi, dan oleh karenanya mereka akan mengikuti desain pemberdayaan menurut “kelompok pembedaya”. Pembedayaan yang menggunakan paradigma ini merupakan paradigma “pembangunanisme” atau developmentalisme yang terbukti sampai saat ini, pada banyak kasus, belum mampu membawa masyarakat “kurang berdaya” menjadi masyarakat berdaya.

Pemberdayaan

Menurut Ife & Toseriero (2008), pemberdayaan tidak bisa dilepaskan dengan kekuasaan. Karena itu, pemberdayaan kiranya dapat ditinjau dari berbabagi perspektif, yaiti; perspektif pluralis, perspektif elite, perspektif struktural dan perspektif post-struktutal. Menurut pandangan pluralis, pemberdayaan merupakan suatu proses menolong kelompok atau individu yang dirugikan untuk bersaing secara lebih efektif dengan kepentingan-kepentingan lain, dengan menolong mereka untuk belajar dan menggunakan keterampilan-keterampilan dalam melobi, menggunakan media, melakukan aksi politik, memahami bagaimana memanfaatkan sistem, dan sebagainya.
Sedangkan menurut perspektif elite, masyarakat dipandang memiliki hirarkhi dengan kelompok-kelompok tertentu dalam menjalankan kekuasaan dan kontrol. Dalam hal ini, pemberdayaan dinilai lebih dari sekedar memiliki kemampuan berkompetesi untuk kekuasaan politik dengan memainkan permainan; aturan main yang telah ditetapkan oleh elite pengusaha dan karena itu cenderung akan menguntungkan mereka.
Sementara itu, perspektif struktural memandang pemberdayaan sebagai agenda yang jauh lebih menantang, karena hal itu hanya dapat dicapai secara efektif jika bentuk-bentuk struktur yang merugikan ditantang dan diatasi. Karena itu, pemberdayaan, selalu merupakan bagian dari program perubahan sosial yang lebih luas, dengan pandangan untuk melucuti struktur-struktur opresif yang dominan.
Lain halnya dengan perspektif post-struktutal. Pandangan ini mengacu pada Foucault (1973, 1979; Rouse, 1984) yang melacak cara-cara berbagai gagasan, bahasa, dan definisi pengetahuan telah digunakan sebagai suatu mekanisme kontrol yang utama. Perspektif ini memandang pemberdayaan sebagai suatu proses menantang dan mengubah wacana. Ia menekankan pengertian-pengertian subjektif manusia dan konstruksi pandangan dunia mereka, dan menunjuk kepada kebutuhan untuk mendekonstruksi pengertian-pengertian ini dan pembentukan suatu kosa kata alternatif untuk pemberdayaan. Dengan demikian, perspektif post-struktural ini menegaskan mengenai pentingnya pengertian, analisis, dekonstruksi, pendidikan dan partisipasi dalam wacana-wacana kekuasaan, dan melihat suatu konsentrasi pada aksi saja sebagai tidak mencukupi (Ife & Toseriero (2008).
Selain Ife dan Toseriero, Suharto (2010) mengemukakan bahwa pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment) berasal dari kata power (kekuasaan atau keberdayaan). Karenya, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Karena itu, pemberdayaan merujuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah, sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan dari kelaparan, bebas dari kebodohan dan bebas dari kesakitan. Selain itu, mereka juga mampu menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan. Poin yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa kekuasaan tersebut dapat membawa kelompok marginal keluar dari kondisi ketermarginalan mereka menuju pada kemampuan untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.
Sementara itu, Parson mengatakan bahwa pemberdayaan adalah sebuha proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya Suharto (2010).
Sementara itu, Kartasasmita (1995) mengemukakan bahwa upaya memberdayakan harus dilakukan melalui tiga cara, yaitu; membuat suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang, memperkuat potensi yang dimiliki oleh rakyat dengan menerapkan langkah-langkah nyata, menampung berbagai masukan, menyediakan prasarana dan sarana, maupun sosial (sekolah dan fasilitas kesehatan) yang dapat diakses oleh masyarakat lapisan bawah, dan memberdayakan rakyat dalam arti melindungi dan membela kepentingan masyarakat lemah (Hidayat, 2013).
Terkait dengan diskursus kemiskinan dan pemberdayaan David Cox telah menegaskan bahwa kemiskinan selalu menjadi indikator kunci untuk melakukan pemberdayaan itu (Suharto, 2010). Pendapat ini seakan-akan menegaskan bahwa alasan dilakukannya pemberdayaan adalah karena adanya kemiskinan. Padahal ada kondisi lain yang mengharusnya dilalukakannnya pemerdayaan.
Patut ditelaah secara kritis bahwa pemberdayaan tidak hanya terkait dengan kemiskinan tapi juga terkait dengan marginalisasi. Dalam beberapa kasus, komunitas ada keluarga kaya yang mengalami marginalisasi, seperti kelompok perempuan, anak dan kelompok difabel. Perempuan dan anak dalam keluarga kaya bisa jadi merupakan kelompok yang terintimidasi secara sosial dan ekonomi. Mereka hanya menjadi kelas kedua dalam keluarganya. Karena itu, dalam kasus seperti ini perlu dilakukan pemberdayaan. Pembedayaan dalam konteks ini, tentu saja tidak hanya dilakukan terjadap kelompok yang dimarginalisasi tapi juga kepada kelompok yang melakukan marginalisasi. Sebab, pemberdayaan tidak cukup hanya dengan “merebut” keberdayaan tapi yang paling penting adalah kesadaran untuk memberi ruang dan kesempatan keberdayaan kepada setiap orang, termasuk bagi anggota keluarga. Karena itu, prinsip pemberdayaan semestinya merujuk pada azaz kemanusiaan yang berdaya, yaitu manusia (laki-laki, perempuan, anaka-anak dan orang tua, kelompok difabel dan penyandang masalah sosial) adalah manusia yang memiliki kesempatan dan hak yang sama untuk memperoleh prinsip kemerdekaan sebagai manifestasi dari ide absolut dari keberdayaan itu.

Daftar Pustaka

Ife,Jim & Tesoriero, Frank. Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi Community Development. Terjemahan oleh Sastrawan Manullang dkk. 2008. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suharto, Edi. 2010. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: Aditama.

Keterjaminan (Sekuritas) Sosial

Ketika seseorang mengalami masalah sosial maka masyarakat dan struktur sosial dapat digunakan dan atau berperan dalam memberikan dukungan. Dukungan ini disebut dukungan sosial. Dalam hal ini, Keterjaminan Sosial (Social Security) dan Modal Sosial (Social Capital) merupkan energi yang dapat dimanfaatkan dan atau bermanfaat dalam mendukung kelangsungan hidup seseorang untuk keluar dari masalah sosial yang dihadapi. Pada edisi ini, kita akan membahas mengenai Keterjaminan Sosial atau Social Security.

Jumat, 10 Oktober 2014

Modal Sosial

Field (2010:1) mengemukakan bahwa teori modal sosial pada intinya merupkan teori yang paling tegas. Tesis sentralnya adalah hubungan atau jaringan (network). Orang berhubungan melalui serangkaian jaringan dan mereka cenderung memiliki kesamaan nilai dengan anggota lain dalam jaringan tersebut, karenanya hal ini dapat dipandang sebagai modal. Artinya, semakin banyak seseorang mengenal orang dan semakin banyak dia memliki cara pandang yang sama dengan mereka maka semakin kayalah modal sosial orang tersebut.

Nilai dan Keluarga

Syamsuddin Simmau
Clyde Kluckhohn mengatakan bahwa sebuah nilai adalah sebuah konsepsi, eksplisit atau implicit, yang khas milik seseorang individu atau suatu kelompok, tentang yang seharusnya diinginkan yang memengaruhi pilihan yang tersedia dari bentuk-bentuk, cara-cara, dan tujuan-tujuan tindakan dikutip dari Amri Marzali (2009:105).